Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang terletak di Propinsi Kalimantan Selatan. Pegunungan ini membentang dari arah Selatan di Kabupaten Tanah Laut hingga ke Utara dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, luasnya diperkirakan lebih dari satu juta hektar. Di sebelah Barat Pegunungan Meratus tersebut terdapat dua buah gunung yang dikenal dengan Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki. Menurut cerita masyarakat di sekitarnya, keberadaan kedua gunung tersebut dikaitkan dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di daerah itu. Konon, kedua gunung tersebut berasal dari dua penggalan perahu layar milik seorang anak durhaka yang bernama si Angui.
Karena sumpah sakti seorang ibu menjadikan si Angui, istri, beserta seluruh harta kekayaannya, berubah menjadi batu. Kemudian kedua batu tersebut berubah menjadi dua buah gunung yang mirip dengan bentuk sebuah perahu yang terpotong dua. Peristiwa itu dikemas dalam sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan cerita Batu Bini Batu Laki. Bagaimana si Angui bisa durhaka terhadap ibunya, sehingga ia disumpah menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita berikut ini.
Alkisah pada zaman dahulu kala, daerah yang terletak di sebelah Barat lereng Pegunungan Meratus pernah digengangi air yang dalam. Hanya ada satu daratan yang tidak digenangi air. Daratan itu dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di salah satu rumah penduduk, tinggallah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan anak laki-lakinya bernama si Angui. Keluarga kecil ini hidup dari hasil hutan dan dan sungai. Setiap hari Diang Ingsun mencari ikan di sungai dibantu oleh anak tunggalnya, si Angui. Mereka juga mengumpulkan umbi-umbian untuk dimakan. Jika ada sisa, mereka menjualnya kepada penduduk yang membutuhkan untuk ditukar dengan beras.
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa. Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual, terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan, damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu. Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui. Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu, tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya. Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu, Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya, naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak! Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui, Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung. Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka, jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju. Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan! Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...! Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu. “Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak. “Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,” ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan. Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan, terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya. “Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai, perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali. Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui. Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini! Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Karena sumpah sakti seorang ibu menjadikan si Angui, istri, beserta seluruh harta kekayaannya, berubah menjadi batu. Kemudian kedua batu tersebut berubah menjadi dua buah gunung yang mirip dengan bentuk sebuah perahu yang terpotong dua. Peristiwa itu dikemas dalam sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan cerita Batu Bini Batu Laki. Bagaimana si Angui bisa durhaka terhadap ibunya, sehingga ia disumpah menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita berikut ini.
Alkisah pada zaman dahulu kala, daerah yang terletak di sebelah Barat lereng Pegunungan Meratus pernah digengangi air yang dalam. Hanya ada satu daratan yang tidak digenangi air. Daratan itu dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di salah satu rumah penduduk, tinggallah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan anak laki-lakinya bernama si Angui. Keluarga kecil ini hidup dari hasil hutan dan dan sungai. Setiap hari Diang Ingsun mencari ikan di sungai dibantu oleh anak tunggalnya, si Angui. Mereka juga mengumpulkan umbi-umbian untuk dimakan. Jika ada sisa, mereka menjualnya kepada penduduk yang membutuhkan untuk ditukar dengan beras.
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa. Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual, terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan, damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu. Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui. Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu, tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya. Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu, Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya, naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak! Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui, Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung. Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka, jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju. Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan! Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...! Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu. “Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak. “Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,” ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan. Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan, terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya. “Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai, perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali. Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui. Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini! Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Baru saja doa itu diucapkan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh, menggelegar bersahut-sahutan. Air laut pun bergejolak dengan dahsyatnya. Jung yang ditumpangi si Angui dan seluruh isinya, terombang-ambing oleh gelombang air laut itu. Hempasan gelombang yang dahsyat itu membelah jung itu menjadi dua bagian. Satu bagian berisi istri si Angui beserta dayangnya, satu bagian lagi dihuni oleh si Angui beserta anak buah jung dan segala harta kekayaannya. Dari dalam jung terdengar suara teriakan si Angui memanggil-mangggil ibunya dan meminta maaf. “Ibu..., Ibu..., maafkan aku, Bu! Aku memang anakmu! Aku tidak akan mengulangi lagi!” Istri Angui pun turut berteriak meminta maaf. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan oleh Diang Ingsun. Ia terus mengayuh jukungnya menjauhi pelabuhan.
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini, sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini, sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!